Jumat, 25 Juli 2014

Sejarah Berdirinya kota bangkalan

 
Sejarah berdirinya kota bangkalan
 
Bangkalan berasal dari kata “bangkah” dan ”la’an” yang artinya “mati sudah”. Istilah ini diambil dari cerita legenda tewasnya pemberontak sakti Ki Lesap yang tewas di Madura Barat. Menurut beberapa sumber, disebutkan bahwa Raja Majapahit yaitu Brawijaya ke V telah masuk Islam (data kekunoan di Makam Putri Cempa di Trowulan, Mojokerto). Namun demikian siapa sebenarnya yang dianggap Brawijaya ke V.

Didalam buku Madura en Zijin Vorstenhuis dimuat antara lain Stamboon van het Geslacht Tjakradiningrat.

Dari Stamboon tersebut tercatat bahwa Prabu Brawijaya ke V memerintah tahun 1468–1478. Dengan demikian, maka yang disebut dengan gelar Brawijaya ke V (Madura en Zijin Vorstenhuis hal 79) adalah Bhre Krtabhumi dan mempunyai 2 (dua) orang anak dari dua istri selir. Dari yang bernama Endang Sasmito Wati melahirkan Ario Damar dan dari istri yang bernama Ratu Dworo Wati atau dikenal dengan sebutan Putri Cina melahirkan Lembu Peteng. Selanjutnya Ario Damar (Adipati Palembang) mempunyai anak bernama Menak Senojo.

Menak Senojo tiba di Proppo Pamekasan dengan menaiki bulus putih dari Palembang kemudian meneruskan perjalannya ke Barat (Bangkalan). Saat dalam perjalanan di taman mandi Sara Sido di Sampang pada tengah malam Menak Senojo mendapati banyak bidadari mandi di taman itu, oleh Menak Senojo pakaian salah satu bidadari itu diambil yang mana bidadari itu tidak bisa kembali ke kayangan dan akhirnya jadi istri Menak Senojo.

Bidadari tersebut bernama Nyai Peri Tunjung Biru Bulan atau disebut juga Putri Tunjung Biru Sari. Menak Senojo dan Nyai Peri Tunjung Biru Bulan mempunyai anak Ario Timbul. Ario Timbul mempunyai anak Ario Kudut. Ario Kudut mempunyai anak Ario Pojok. Sedangkan di pihak Lembu Peteng yang bermula tinggal di Madegan Sampang kemudian pindah ke Ampel (Surabaya) sampai meninggal dan dimakamkan di Ampel, Lembu Peteng mempunyai anak bernama Ario Manger yang menggantikan ayahnya di Madegan Sampang. Ario Manger mempunyai anak Ario Pratikel yang semasa hidupnya tinggal di Gili Mandangin (Pulau Kambing). Dan Ario Pratikel mempunyai anak Nyai Ageng Budo.

Nyai Ageng Budo inilah yang kemudian kawin dengan Ario Pojok. Dengan demikian keturunan Lembu Peteng menjadi satu dengan keturunan Ario Damar. Dari perkawinan tersebut lahirlah Kiai Demang yang selanjutnya merupakan cikal bakal Kota Baru dan kemudian disebut Plakaran. Jadi Kiai Demang bertahta di Plakaran Arosbaya dan ibukotanya Kota Baru (Kota Anyar) yang terletak disebelah Timurdaya Arosbaya. Dari perkawinannya dengan Nyai Sumekar mempunyai 5 (lima) orang anak yaitu :

Kiai Adipati Pramono di Madegan Sampang.
Kiai Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan.
Kiai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen .
Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo .
Kiai Pragalbo yang kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta di Plakaran, setelah meninggal dikenal sebagai Pangeran Islam Onggu'.

Namun perkembangan Bangkalan bukan berasal dari legenda ini, melainkan diawali dari sejarah perkembangan Islam di daerah itu pada masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur.

Beliau adalah anak Raja Pragalba, pendiri kerajaan kecil yang berpusat di Arosbaya, sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara. Panembahan Pratanu diangkat sebagai raja pada 24 Oktober 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalba wafat. Jauh sebelum pengangkatan itu, ketika Pratanu masih dipersiapkan sebagai pangeran, dia bermimpi didatangi orang yang menganjurkan dia memeluk agama Islam. Mimpi ini diceritakan kepada ayahnya yang kemudian memerintahkan patih Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus.

Perintah ini dilaksanakan sebaik-baiknya, bahkan Bageno bersedia masuk Islam sesuai saran Sunan Kudus sebelum menjadi santrinya selama beberapa waktu lamanya. Ia kembali ke Arosbaya dengan ilmu keislamannya dan memperkenalkannya kepada Pangeran Pratanu.

Pangeran ini sempat marah setelah tahu Bageno masuk Islam mendahuluinya. Tapi setelah dijelaskan bahwa Sunan Kudus mewajibkannya masuk Islam sebelum mempelajari agama itu, Pangeran Pratanu menjadi maklum.

Setelah ia sendiri masuk Islam dan mempelajari agama itu dari Empu Bageno, ia kemudian menyebarkan agama itu ke seluruh warga Arosbaya. Namun ayahnya, Raja Pragalba, belum tertarik untuk masuk Islam sampai ia wafat dan digantikan oleh Pangeran Pratanu. Perkembangan Islam itulah yang dianut oleh pimpinan di Kabupaten Bangkalan ketika akan menentukan hari jadi kota Bangkalan, bukan perkembangan kekuasan kerajaan di daerah itu.

Jauh sebelum Pangeran Pratanu dan Empu Bageno menyebarkan Islam, sejumlah kerajaan kecil di Bangkalan.

Diawali dari Kerajaan Plakaran yang didirikan oleh Kyai Demang dari Sampang. Yang diperkirakan merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh pada saat itu. Kyai Demang menikah dengan Nyi Sumekar, yang diantaranya melahirkan Raden Pragalba. Pragalba menikahi tiga wanita. Pratanu adalah anak Pragalba dari istri ketiga yang dipersiapkan sebagai putera mahkota dan kemudian dikenal sebagai raja Islam pertama di Madura. Pratanu menikah dengan putri dari Pajang yang memperoleh keturunan lima orang :

Pangeran Sidhing Gili yang memerintah di Sampang. Raden Koro yang bergelar Pangeran Tengah di Arosbaya, Raden Koro menggantikan ayahnya ketika Pratanu wafat. Pangeran Blega yang diberi kekuasaan di Blega. Ratu Mas di Pasuruan dan Ratu Ayu.

Kerajaan Arosbaya runtuh diserang oleh Mataram pada masa pemerintahan Pangeran Mas pada tahun 1624. Pada pertempuran ini Mataram kehilangan panglima perangnya, Tumenggung Demak, beberapa pejabat tinggi kerajaan dan sebanyak 6.000 prajurit gugur.

Korban yang besar ini terjadi pada pertempuran mendadak pada hari Minggu, 15 September 1624, yang merupakan perang besar. Laki-laki dan perempuan kemedan laga. Beberapa pejuang laki-laki sebenarnya masih bisa tertolong jiwanya. Namun ketika para wanita akan menolong mereka melihat luka laki-laki itu berada pada punggung, mereka justru malah membunuhnya.

Luka di punggung itu menandakan bahwa mereka melarikan diri, yang dianggap menyalahi jiwa ksatria. Saat keruntuhan kerajaan itu, Pangeran Mas melarikan diri ke Giri. Sedangkan Prasena (putera ketiga Pangeran Tengah) dibawa oleh Juru Kitting ke Mataram, yang kemudian diakui sebagai anak angkat oleh Sultan Agung dan dilantik menjadi penguasa seluruh Madura yang berkedudukan di Sampang dan bergelar Tjakraningrat I.

Keturunan Tjakraningrat inilah yang kemudian mengembangkan pemerintahan kerajaan baru di Madura, termasuk Bangkalan. Tjakraningrat I menikah dengan adik Sultan Agung. Selama pemerintahannya ia tidak banyak berada di Sampang, sebab ia diwajibkan melapor ke Mataram sekali setahun ditambah beberapa tugas lainnya. Sementara kekuasaan di Madura diserahkan kepada Sontomerto.

Dari perkawinannya dengan adik Sultan Agung, Tjakraningrat tidak mempunyai keturunan sampai istrinya wafat. Baru dari pernikahannya dengan Ratu Ibu ( Syarifah Ambani, keturunan Sunan Giri ), ia memperoleh tiga orang anak dan beberapa orang anak lainnya diperoleh dari selirnya (Tertera pada Silsilah yang ada di Asta Aer Mata Ibu.

Bangkalan berkembang mulai tahun 1891 sebagai pusat kerajaan dari seluruh kekuasaan di Madura, pada masa pemerintahan Pangeran Tjakraningrat II yang bergelar Sultan Bangkalan II. Raja ini banyak berjasa kepada Belanda dengan membantu mengembalikan kekuasaan Belanda di beberapa daerah di Nusantara bersama tentara Inggris.

Karena jasa-jasa Tjakraningrat II itu, Belanda memberikan izin kepadanya untuk mendirikan militer yang disebut ‘Corps Barisan’ dengan berbagai persenjataan resmi modern saat itu. Bisa dikatakan Bangkalan pada waktu itu merupakan gudang senjata, termasuk gudang bahan peledak.

Namun perkembangan kerajaan di Bangkalan justru mengkhawatirkan Belanda setelah kerajaan itu semakin kuat, meskipun kekuatan itu merupakan hasil pemberian Belanda atas jasa-jasa Tjakraningrat II membantu memadamkan pemberontakan di beberapa daerah. Belanda ingin menghapus kerajaan itu. Ketika Tjakraningrat II wafat, kemudian digantikan oleh Pangeran Adipati Setjoadiningrat IV yang bergelar Panembahan Tjokroningrat VIII, Belanda belum berhasil menghapus kerajaan itu. Baru setelah Panembahan Tjokroadiningrat wafat, sementara tidak ada putera mahkota yang menggantikannya, Belanda memiliki kesempatan menghapus kerajaan yang kekuasaannya meliputi wilayah Madura itu…
Profil
Nama Resmi                     : Kabupaten Bangkalan
Provinsi                           : Jawa Timur
Luas Wilayah                   : 1.001,44 Km2
Batas Wilayah                  : Utara: Laut Jawa
           Selatan: Selat Madura
           Barat: Kabupaten Sampang
           Timur: Selat Madura
Wilayah Administrasi      : Kecamatan: 18, Kelurahan : 8, Desa : 273

NAMA RAJA YANG MEMERINTAH DI KABUPATEN BANGKALAN
Tahun 1531 – 1592              :    Kiai Pratanu (Panembahan Lemah Duwur)
Tahun 1592 – 1621              :    Raden Koro (Pangeran Tengah)
Tahun 1621 – 1624              :    Pangeran Mas
Tahun 1624 – 1648              :    Raden Prasmo (Pangeran Cakraningrat I)
Tahun 1648 – 1707              :    Raden Undakan (Pangeran Cakraningrat II)
Tahun 1707 – 1718              :    R.T. Suroadiningrat (Pangeran Cakraningrat III)
Tahun 1718 – 1745              :    Pangeran Sidingkap (Pangeran Caraningrat IV)
Tahun 1745 – 1770              :    Pangeran Sidomukti (Pangeran Cakraningrat V)
Tahun 1770 – 1780              :    R.T. Mangkudiningrat  (Penembahan Adipati Cakraadiningrat VI)
Tahun 1780 – 1815              :    Sultan Abdu /  Sultan Bangkalan I (Penembahan Adipati Cakraadiningrat VII)      
Tahun 1815 – 1847              :    Sultan Abdul Kadirun (Sultan Bangkalan II)
Tahun 1847 – 1862              :    R. Yusuf (Panembahan Cakraadiningrat VII)
Tahun 1862 – 1882              :    R. Ismael (Panembahan Cakrasdiningrat VIII)
NAMA BUPATI YANG MEMERINTAH DI KABUPATEN BANGKALAN
Tahun 1882 – 1905              :    Pangeran Suryonegoro (Bupati I)
Tahun 1905 – 1918              :    R. AA Suryonegoro (Bupati II)     
Tahun 1918 – 1945              :    R. AA Suryowinoto / Wali Negara (Bupati III)
Tahun 1945 – 1956              :    Mr. R.A. Moh. Zis Cakraningrat (Bupati IV)
Tahun 1956 – 1957              :    R.A. Moh. Roeslan Wongsokusumo (Bupati V)
Tahun 1957 – 1959              :    R.A. Abd. Karim Brodjokusumo (Bupati VI)
Tahun 1957 – 1959              :    R.A. Abd. Karim Brodjokusumo (Bupati VI)      
Tahun 1959 – 1965              :    R.P. Moh. Noer (Bupati VII)
Tahun 1965 – 1969              :    Drs. Abd. Manan Priyonoto (Bupati VIII)
Tahun 1969 – 1971              :    R.P. Machmud Suroadiputro (Bupati IX)
Tahun 1971 – 1982              :    HJ. Sudjaki (Bupati X)     
Tahun 1982 – 1988              :    Drs. Sumarwoto (Bupati XI)
Tahun 1988 – 1991              :    Drs. Abdul Kadir (Bupati XII)
Tahun 1991 – 1993              :    Drs. Ernomo (PTHJ Bupati)
Tahun 1993 – 1998              :    M. Djakfar Syafei (Bupati XIII)     
Tahun 1998 – 2003              :    Dr. Ir. H. Mohammad Fatah, MM
Tahun 2003 – 2013              :    R.K.H. Fuad Amin, SPd
Tahun 2013 – 2018              :    R.K. Muh. Makmun Ibnu Fuad

Sejarah Berdirinya kota pacitan


Sejarah singkat kota pacitan
Sejarah Pacitan berawal dari kedatangan Ki Bonokeling, salah satu utusan Raja Brawijaya ke daerah di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, pada abad ke XII M. Keturunan Ki Bonokeling menjadi penguasa hingga empat generasi. Ketika Islam mulai masuk, Ki Bonokeling ke-IV yang menjadi penguasa daerah itu keberatan ketika Kyai Ageng Petung, salah satu penyebar Islam di tanah Jawa, menyebarkan agamanya ke Pacitan. Keduanya bersitegang dan beperang.

Konon, Ki Bonokeling ke-IV memiliki kesaktian yang membuatnya tidak bisa dibunuh. Dalam perang itu, Kyai Ageng Petung berhasil membunuhnya dengan memenggal tubuh Ki Bonokeling menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian tubuhnya dimakamkan di tiga tempat berbeda, yang dipisahkan dengan aliran sungai. Islam pun mulai tumbuh di Pacitan.

Nama Pacitan berasal dari kata Pace (buah Pace). Nama itu pertama kali disebutkan oleh Raja Mangkubumi yang berhasil disembuhkan oleh air buah pace saat lumpuh. Setroketipo, salah satu keturunan Bonokeling ke-V yang beragama Islam, adalah orang yang memberikan air itu kepada Mangkubumi.

“Sejarah berlanjut, hingga akhirnya Pacitan dipegang oleh Joyoniman atau Kanjeng Jimat, keturunan ke-XII Bonokeling yang berkuasa sejak 1840,” ungkap Koesno mengutip kitab Babad Pacitan. Kata jimat atau kabarang keramat yang diberikan kepada Joyoniman berawal dari tugas yang diberikan Pangeran Diponegoro kepada Joyoniman untuk bisa menjaga gedung yang berisi barang keramat.

Kanjeng Jimat adalah sosok yang sederhana dan penganut Islam yang taat. Pembangunan Pacitan beraroma keislaman adalah salah satu cita-citanya. Karena itu pun ketika Kanjeng Jimat meninggal dunia, dia mewasiatkan untuk dikubur di atas bukit yang berhadapan dengan kota Pacitan. Seperti di Giri Sampoerna sekarang.

Dari lokasi makam Kanjeng Jimat, kota Pacitan, berikut hamparan Pantai laut Selatan Teleng Ria terlihat jelas. Meski di sana bersemayam tokoh besar Pacitan, namun makam seluas 8x10 meter itu tergolong sederhana. Tidak ada ornamen khas Pacitan yang terukir di sana. Hanya bangunan rumah yang berdampingan dengan mushola Kanjeng Jimat.

Meski demikian, makam Kanjeng Jimat menjadi magnet bagi warga Pacitan yang masih bercaya pada kekeramatan sebuah makam. “Ada tiga makam di Pacitan yang sering dikunjungi untuk didoakan, Makam Kanjeng Jimat, Makam Setroketipo dan makam Buonokeling,” kata Koesno.

Kesederhanaan dan kekeramatan ala Kanjeng Jimat itulah yang menjadi salah satu ispirasi perayaan HUT Pacitan tahun 2008 ini. “Folosofinya adalah, menjadikan momentum ulang tahun Pacitan menjadi awal dari perubahan menjadi yang lebih baik dan religius,” kata Fathoni, Kepala Dinas Pariwisata Pacitan pada The Jakarta Post. Tanpa pagelaran hiburan rakyat dari 12 Kecamatan, Kirab Pusaka atau Pagelaran Wayang semalam suntuk. Puncak peringatan berupa dzikir akbar. "Ini adalah refleksi dari banyaknya problem yang dihadapi bangsa ini belakangan," kata Fathoni.

Pacitan memang memiliki sejarah yang jauh dari kegegapgempitaan. Daerah ini adalah daerah tunjuan raja-raja Jawa bila ingin melakukan tapa nyepi. Ketika Jendral Sudirman dikejar-kejar Belanda, Jendral Besar itu memilih bersembunyi di Pacitan dan memimpin strategi penyerangan di salah satu bukit di Pacitan. “Saya dengar, ada salah satu gua yang biasa dijadikan tempat bertapa raja-raja, juga digunakan oleh Almarhum mantan Soeharto,” kata Fathoni.

Kini, ketika Pacitan berulang tahun ke-623, semangat kesederhanaan itu kembali diusung. Kesederhanaan yang ditorehkan pertama kali oleh Ki Bonokeling, Ki Setroketipo dan Kanjeng Jimat.

Sejarah Berdirinya kota gresik


Sejarah singkat kota Gresik

Gresik sudah dikenal sejak abad ke-11 ketika tumbuh menjadi pusat perdagangan tidak saja antar pulau, tetapi sudah meluas keberbagai negara.Sebagai kota Bandar,gresik banyak dikunjungi pedagang Cina, Arab, Gujarat, Kalkuta, Siam, Bengali, Campa dan lain-lain. Gresik mulai tampil menonjol dalam peraturan sejarah sejak berkembangnya agama islam di tanah jawa. Pembawa dan penyebar agama islam tersebut tidak lain adalah Syech Maulana Malik Ibrahim yang bersama-sama Fatimah Binti Maimun masuk ke Gresik pada awal abad ke-11.
Sejak lahir dan berkembangnya kota Gresik selain berawal dari masuknya agama islam yang kemudian menyebar ke seluruh pulau jawa,tidak terlepas dari nama Nyai Ageng Pinatih, dari janda kaya raya yang juga seorang syahbandar, inilah nantinya akan kita temukan nama seseorang yang kemudian menjadi tonggak sejarah berdirinya kota gresik. Dia adalah seorang bayi asal Blambangan (Kanbupaten Banyuwangi) yang dibuang ke laut oleh orang tuanya, dan ditemukan oleh para pelaut anak buah Nyai Ageng Pinatih yang kemudian diberi nama Jaka Samudra. Setelah perjaka bergelar raden paku yang kemudian menjadi penguasa pemerintah yang berpusat di Giri Kedato,dari tempat inilah beliau kemudian dikenal dengan panggilan Sunan Giri.
Kalau Syeh Maulana Malik Ibrahim pada jamannya dianggap sebagai para penguasa, tiang para raja dan menteri, maka sunan giri disamping kedudukannya sebagai seorang sunan atau wali (Penyebar Agama Islam) juga dianggap sebagai Sultan / Prabu (Penguasa Pemerintahan) Sunan Giri dikelanal menjadi salah satu tokoh wali songo ini,juga dikenal dengan prabu Satmoto atau Sultan Ainul Yaqin.Tahun dimana beliau dinobatkan sebagai pengusaha pemerintahan(1487 M) akhirnya dijadikan sebagai hari lahirnya kota Gresik. Beliau memerintah gresik selama 30 tahun dan dilanjutkan oleh keturunanya sampai kurang lebih 200 tahun
Menjabat sebagai bupati yang pertama adalah Kyai Ngabehi Tumenggung Poesponegoro pada tahun 1617 saka, yang jasadnya dimakamkan di komplek makam Poesponegoro di jalan pahlawan gresik, satu komplek dengan makam Syech Maulana Malik Ibrahim.
Kota Gresik terkenal sebagai kota wali, hal ini ditandai dengan penggalian sejarah yang berkenaan dengan peranan dan keberadaan para wali yang makamnya di Kabupaten Gresik yaitu, Sunan Giri dan Syekh Maulana Malik Ibrahim. Di samping itu, Kota Gresik juga bisa disebut dengan Kota Santri, karena keberadaan pondok-pondok pesantren dan sekolah yang bernuansa Islami, yaitu Madrasah Ibtida’iyah, Tsanawiyah, dan Aliyah hingga Perguruan Tinggi yang cukup banyak di kota ini. Hasil Kerajinan yang bernuansa Islam juga dihasilkan oleh masyarakat Kota Gresik, misalnya kopyah, sarung, mukenah, sorban dan lain-lain.
Semula kabupaten ini bernama Kabupaten Surabaya. Memasuki dilaksanakannya PP Nomer 38 Tahun 1974. Seluruh kegiatan pemerintahan mulai berangsur-angsur dipindahkan ke gresik dan namanya kemudian berganti dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Gresik dengan pusat kegiatan di Kota Gresik.
Kabupaten Gresik yang merupakan sub wilayah pengembangan bagian (SWPB) tidak terlepas dari kegiatan sub wilayah pengembangan Gerbang Kertasusila(Gresik, Bangkalan, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan). Termasuk salah satu bagian dari 9 sub wilayah pengembangan jawa timur yang kegiatannya diarahkan pada sektor pertanian, industri, perdagangan, maritime, pendidikan dan industri wisata.
Dengan ditetapkannya Gresik sebagai bagian salah satu wilaya pengembangan Grebangkertosusila dan juga sabagai wilayah industri, maka kota gresik menjadi lebih terkenal dan termashur, tidak saja di persada nusantara tetapi juga ke seluruh dunia yang ditandai dengan munculnya industri multi modern yang patut dibanggakan bangsa Indonesia.

asal usul nama gresik
melacak asal usul nama Gresik adalah satu hal yang sangat menarik. Banyak ditemukan penuturan tradisional berupa tradisi lisan, babad, serat, syair (macapat), yang kadang tidak dapat diterima oleh akal sehat, sehingga sulit dikaji secara akurat.

Namun sumber tersebut dapat dijadikan studi komparatif dengan sumber lain yang historis. Berikut adalah beberapa sumber sejarah yang berhubungan dengan n...ama Gresik.

Babad Hing Gresik menyebut G
resik dengan nama “Gerwarase”.
Prasasti Karang Bogem tahun 1387 M memuat nama “Gresik” dalam Bahasa Jawa Kuno.
Bangsa Cina yang pernah mendarat di Gresik pada awal abad ke-15 M, mula-mula menyebut “T’Se T’Sun” artinya perkampungan kotor, beberapa tahun kemudian berubah sebutan menjadi “T’Sin T’Sun” artinya kota baru.
Bangsa Portugis ketika pertama kali mendarat di Gresik tahun 1513 menyebutnya dengan ucapan “Agace” tertulis “Gerwarace”.
Bangsa Belanda awalnya menyebut “Gerrici” kemudian dalam banyak dokumen tertulis menjadi “Grissee”. Sampai sekarang tulisan ini dapat dilihat pada sebuah kantor dagangnya di Kampung Kebungson Gresik.
Serat Centini sebuah karya sastra tengah pertama abad ke-19 M menyeb
ut nama “Giri-Gresik”.
Bangsa Arab menyebut “Qorrosyaik”, satu perintah dari seorang nahkoda kapal pada anak buahnya untuk menancapkan sesuatu yaitu jangkar sebagai tanda kapal telah berlabuh.
Solihin Salam menyebut nama “Giri-Isa” ungkapan dari kata Giri berarti bukit, sedangkan Giri-Isa atau Giri-Nata berarti Raja Bukit untuk menyebut penguasa Giri-Gresik.
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java berpendapat bahwa sebutan Gresik berasal dari kata “Giri-Gisik” berarti tanah di tepi laut (pesisir). Giri-Gisik kemudian berubah menjadi Giri-Sik, akhirnya Gresik.

Dari berbagai sebutan itu dan menurut hikayat yang berkembang di masyarakat, yang menarik adalah sebutan “Giri-Gisik”, karena bahasa pribumi jawa yang menunjuk adanya bukit (Giri) dan pantai (Gisik), ciri yang sungguh serasi benar dengan fisik lokasi Gresik. Giri-Gisik dalam percakapan sehari-hari, akhirnya berubah menjadi “GRESIK”.


Sejarah Berdirinya Koto blitar

 
Sejarah singkat berdirinya kota blitar
a) Legenda
Seperti diketahui, menurut sejumlah buku sejarah, terutama buku Bale Latar, Blitar didirikan pada sekitar abad ke-15. Nilasuwarna atau Gusti Sudomo, anak dari Adipati Wilatika Tuban, adalah orang kepercayaan Kerajaan Majapahit, yang diyakini sebagai tokoh yang mbabat alas. Sesuai dengan sejarahnya, Blitar dahulu adalah hamparan hutan yang masih belum terjamah manusia. Nilasuwarna, ketika itu, mengemban tugas dari Majapahit untuk menumpas pasukan Tartar yang bersembunyi di dalam hutan selatan (Blitar dan sekitarnya). Sebab, bala tentara Tartar itu telah melakukan sejumlah pemberontakan yang dapat mengancam eksistensi Kerajaan Majapahit. Singkat cerita, Nilasuwarna pun telah berhasil menunaikan tugasnya dengan baik Bala pasukan Tartar yang bersembunyi di hutan selatan, dapat dikalahkan.

Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, oleh Majapahit, Nilasuwarna diberikan hadiah untuk mengelola hutan selatan, yakni medan perang yang dipergunakannya melawan bala tentara Tartar yang telah berhasil dia taklukkan. Lebih daripada itu, Nilasuwarna kemudian juga dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar I dengan daerah kekuasaan di hutan selatan. Kawasan hutan selatan inilah , yang dalam perjalanannya kemudian dinamakan oleh Adipati Ariyo Blitar I sebagai Balitar (Bali Tartar). Nama tersebut adalah sebagai tanda atau pangenget untuk mengenang keberhasilannya menaklukkan hutan tersebut. Sejak itu, Adipati Ariyo Blitar I mulai menjalankan kepemimpinan di bawah Kerajaan Majapahit dengan baik. Dia menikah dengan Gutri atau Dewi Rayung Wulan, dan dianugerahi anak Djoko Kandung. Namun, di tengah perjalanan kepemimpinan Ariyo Blitar I , terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Sengguruh Kinareja, yang tidak lain adalah Patih Kadipaten Blitar sendiri. Ki Sengguruh pun berhasil merebut kekuasaan dari tangan Adipati Ariyo Blitar I, yang dalam pertempuran dengan Sengguruh dikabarkan tewas. Selanjutnya Sengguruh memimpin Kadipaten Blitar dengan gelar Adipati Ariyo Blitar II. Selain itu, dia juga bermaksud menikahi Dewi Rayungwulan. Mengetahui bahwa ayah kandungnya (Adipati Ariyo Blitar I) dibunuh oleh Sengguruh atau Adipati Ariyo Blitar II maka Djoko Kandung pun membuat perhitungan. Dia kemudian melaksanakan pemberontakan atas Ariyo Blitar II, dan berhasil. Djoko Kandung kemudian dianugerahi gelar Adipati Ariyo Blitar III. Namun sayangnya dalam sejarah tercatat bahwa Joko Kandung tidak pernah mau menerima tahta itu, kendati secara de facto dia tetap memimpin warga Kadipaten Blitar.

b) Masa Pra Kemerdekaan
Pada fase “kepemimpinan” Djoko Kandung, atau Adipati Ariyo Blitar III, pada sekitar tahun 1723 dan di bawah Kerajaan Kartasura Hadiningrat, pimpinan Raja Amangkurat , Blitar pun jatuh ke tangan penjajah Belanda. Karena, Raja Amangkurat menhadiahkan Blitar sebagai daerah kekuasaannya kepada Belanda yang dianggap telah berjasa karena membantu Amangkurat dalam perang saudara termasuk perang dengan Ariyo Blitar III, yang berupaya merebut kekuasaannya. Blitar pun kemudian beralih kedalam genggaman kekuasaan Belanda, yang sekaligus mengakhiri eksistensi Kadipaten Blitar sebagai daerah pradikan. Penjajahan di Blitar, berlangsung dalam suasana serba menyedihkan karena memakan banyak korban, baik nyawa maupun harta. Seperti daerah-daerah lainnya, rakyat Blitar pun tidak menghendaki mereka hidup dibawah ketiak bangsa Eropa yang menjajah kemerdekaan mereka. Rakyat Blitar kemudian bersatu padu dan bahu membahu melakukan berbagai bentuk perlawanan kepada Belanda, tidak hanya pribumi, tetapi juga didukung sepenuhnya oleh etnis Arab; Cina; dan beberapa bangsa Eropa lainnya yang mendiami Blitar.

Akhirnya, untuk meredam perlawanan rakyat Blitar, apalagi setelah diketahui bahwa beberapa bagian dari wilayah Blitar (tepatnya Kota Blitar), iklimnya sesuai untuk hunian bagi bangsa Belanda, maka pada tahun 1906, pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan sebuah Staatsblad van Nederlandche Indie Tahun 1906 Nomor 150 tanggal 1 April 1906, yang isinya adalah menetapkan pembentukan Gemeente Blitar . Momentum pembentukan Gemeente Blitar inilah yang kemudian dikukuhkan sebagai hari lahirnya Kota Blitar. Kepastian kebenarannya diperkuat oleh beberapa fakta antara lain dengan adanya Undang-undang yang menetapkan bahwa ibukota (Kabupaten) Blitar dikukuhkan sebagai Gemeente (Kotapraja) Blitar; Gemeente (Kotapraja) Blitar oleh pemerintah pusat kolonial Belanda setiap tahun diberikan subsidi sebesar 11,850 gulden. Gemeente (Kotapraja) Blitar dibebani kewajiban-kewajiban dan diberikan subsidi secara terinci; bagi Gemeente (Kotapraja) Blitar, diadakan suatu dewan yang dinamakan "Dewan Kotapraja Blitar" dengan jumlah anggota 13 orang; dan, undang-undang pembentukan Kotapraja Blitar itu mulai berlaku tanggal 1 April 1906. Pada tahun itu juga dibentuk beberapa kota lain di Indonesia yang berdasarkan catatan sejarah sebanyak 18 Kota yang meliputi kota Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Magelang Semarang, Salatiga, Madioen, Blitar, Malang, Surabaja dan Pasoeroean di Pulau Jawa serta lainnya di luar Jawa.

Dampak dari keluarnya undang-undang itu adalah, Kota Blitar menjadi kota pusat pengendalian perkebunan-perkebunan di wilayah sekitarnya, sehingga secara otomatis sudah berfungsi sebagai kota pelayanan sejak didirikan secara legal-formal tanggal 1 April 1906. Padahal, ketika itu, luas wilayah Kota Blitar “hanyalah” 6,5 km2, dengan jumlah penduduk sekitar 35.000 jiwa. Kemudian, pada tahun 1928, Kota Blitar pernah menjadi Kota Karisidenan dengan nama "Residen Blitar", dan berdasarkan Stb. Tahun 1928 Nomor 497 Gemeente Blitar ditetapkan kembali.
Bahkan, pada tahun 1930, Kotaparaja Blitar sudah memiliki lambang daerah sendiri. Lambang itu bergambar sebuah gunung dan Candi Penataran, dengan latar belakang gambar berwarna kuning kecoklatan di belakang gambar gunung –yang diyakini menggambarkan Gunung Kelud dan berwarna biru di belakang gambar Candi Penataran. Alasan yang mendasarinya adalah Blitar selama ini identik dengan Candi Penataran dan Gunung Kelud. Sehingga, tanpa melihat kondisi geografis, lambang Kotapraja Blitar pun mengikuti identitas itu. Sedangkan, makna dari pewarnaan itu, lebih-kurang adalah: adanya loyalitas yang luhur atau murni kepada kepemerintahan Hindia-Belanda. Namun, sejumlah produk hukum pemerintah kolonial Belanda itu, tidak menyurutkan rakyat Kota Blitar untuk membebaskan diri dari penjajahan. Sejumlah perlawanan-perlawanan untuk memerdekakan diri, terus berlangsung.

Hingga akhirnya, Jepang pun berhasil menduduki Kota Blitar, pada tahun 1942. Pada tahun itu pulalah, istilah Gementee Blitar berubah menjadi “Blitar Shi”, dengan luas wilayah 16,1 km2, dan berjumlah penduduk sekitar 45.000 jiwa. Perubahan status itu, diperkuat dengan produk hukum yang bernama Osamu Seerai. Di masa ini, penjajah Jepang menggunakan isu sebagai saudara tua bangsa Indonesia, Kota Blitar pun masih belum berhenti dari pergolakan. Bukti yang paling hebat, adalah pemberontakan PETA Blitar, yang dipimpin Soedancho Suprijadi.

Pemberontakan yang terjadi pada tanggal 14 Februari 1945 itu, merupakan perlawanan yang paling dahsyat atas kependudukan Jepang di Indonesia yang dipicu dari rasa empati serta kepedulian para tentara PETA atas siksaan –baik lahir maupun batin- yang dialami rakyat Indonesia oleh penjajah Jepang. Konon, kabarnya, menurut Cindy Adams di dalam otobiografi Bung Karno, pada tanggal 14 Februari 1945 itu pula, Soeprijadi dan kawan-kawan sebelum melakukan pemberontakan, sempat berdiskusi tentang rencana pemberontakan ini, dengan Ir. Soekarno, yang ketika itu tengah berkunjung ke Ndalem Gebang. Namun, Soekarno, ketika itu, tidak memberikan dukungan secara nyata, karena, Soekarno beranggapan, lebih penting untuk mempertahankan eksistensi pasukan PETA sebagai salah satu komponen penting perjuangan memperebutkan kemerdekaan. Di luar pemberontakan yang fenomenal itu, untuk kali pertamanya di bumi pertiwi ini Sang Saka Merah Putih berkibar. Adalah Partohardjono, salah seorang anggota pasukan Suprijadi, yang mengibarkan Sang Merah Putih di tiang bendera yang berada di seberang asrama PETA. Kini, tiang bendera itu berada di dalam kompleks TMP Raden Widjaya, yang dikenal pula sebagai Monumen Potlot.

Pemberontakan PETA ini, walaupun dari sisi kejadiannya terlihat kurang efektif karena hanya berlangsung dalam beberapa jam dan mengakibatkan tertangkapnya hampir seluruh anggota pasukan PETA yang memberontak, kecuali Suprijadi, namun dari sisi dampak yang ditimbulkan, peristiwa ini telah mampu membuka mata dunia. Cikal bakal pemim pin Republik ini ternyata telah dipersiapkan, dan pemberontakan PETA telah menggoreskan tinta emas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan satu-satunya pemberontakan yang dilakukan oleh tentara didikan Jepang. Bahkan, pemberontakan ini boleh dikata sebagai satu-satunya fenomena anak didik Jepang yang berani melawan tuannya diseluruh kawasan asia tenggara dan asia timur yang dijajah pemerintah kolonial Jepang.
Beberapa saat setelah pemberontakan PETA Blitar, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno – Hata memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Rakyat Kota Blitar pun menyambutnya dengan gembira. Sebab, hal inilah yang ditunggu-tunggu dan justru itulah yang sebetulnya menjadi cita-cita perjuangan warga Kota Blitar selama ini. Karena itu, rakyat Kota Blitar segera mengikrarkan diri berada di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Sebagai bukti keabsahan keberadaan Kota Blitar dalam Republik Indonesia, Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1945 tentang perubahan nama “Blitar Shi” menjadi "Kota Blitar", dengan luas wilayah 16,1 km2, dan dihuni oleh 45.000 jiwa.

sejarah berdirinya kota ponorogo


Sejarah singkat berdirinya kota ponorogo

Menurut Babad Ponorogo, berdirinya Kabupaten Ponorogo dimulai setelah Raden Katong sampai di wilayah Wengker. Pada saat itu Wengker dipimpin oleh Suryo Ngalam yang dikenal sebagai Ki Ageng Kutu. Raden Katong lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman (yaitu di dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong, Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman.
Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil.
Dengan persiapan dalam rangka merintis kadipaten didukung semua pihak, Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV, dan ia menjadi adipati yang pertama.
Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496, tanggal inilah yang kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batara Katong dan juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History. Pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia yang bersemedi, pohon, burung garuda dan gajah. Candrasengkala memet ini menunjukkan angka tahun 1418 Saka atau tahun 1496 M. Sehingga dapat ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu hari Minggu Pon, tanggal 1 Besar 1418 Saka bertepatan tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya melalui seminar Hari Jadi Kabupaten Ponorogo yang diselenggarakan pada tanggal 30 April 1996 maka penetapan tanggal 11 Agustus sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo telah mendapat persetujuan DPRD Kabupaten Ponorogo.
Sejak berdirinya Kadipaten Ponorogo dibawah pimpinan Raden Katong , tata pemerintahan menjadi stabil dan pada tahun 1837 Kadipaten Ponorogo pindah dari Kota Lama ke Kota Tengah menjadi Kabupaten Ponorogo hingga sekarang.

etimologi

Ponorogo berasal dari dua kata yaitu pramana dan raga. Pramana berarti daya kekuatan, rahasia hidup, sedangkan raga berarti badan, jasmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan bahwa di balik badan manusia tersimpan suatu rahasia hidup (wadi) berupa olah batin yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah / lawamah, shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan mapan akan menempatkan diri di manapun dan kapanpun berada. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa pono berarti melihat dan rogo berarti badan, raga, atau diri. Sehingga arti Ponorogo adalah "melihat diri sendiri" atau dalam kata lain disebut "mawas diri".
Asal-usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan Pramana Raga yang akhirnya berubah menjadi Ponorogo