SEJARAH BERDIRINYA KOTA BONDOWOSO
R. BAGUS ASSRAH PENDIRI BONDOWOSO
Semasa Pemerintahan Bupati Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara. Kiai Patih Alus mengusulkan agar Mas Astrotruno, putra angkat Bupati Ronggo Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka hutan tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas Astrotruno juga sanggup memikul tugas tersebut. Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo terlebih dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri Bupati Probolinggo Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan kerbau putih “Melati” yang dongkol (tanduknya melengkung ke bawah) untuk dijadikan teman perjalanan dan penuntun mencari daerah-daerah yang subur.
Semasa Pemerintahan Bupati Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara. Kiai Patih Alus mengusulkan agar Mas Astrotruno, putra angkat Bupati Ronggo Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka hutan tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas Astrotruno juga sanggup memikul tugas tersebut. Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo terlebih dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri Bupati Probolinggo Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan kerbau putih “Melati” yang dongkol (tanduknya melengkung ke bawah) untuk dijadikan teman perjalanan dan penuntun mencari daerah-daerah yang subur.
Pengembangan
wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan politis juga sebagai
upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas wilayah yang dituju
penduduknya masih menyembah berhala. Mas Astrotruno dibantu oleh Puspo
Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan Jati Truno berangkat melaksanakan
tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah pegunungan sekitar
Arak-arak “Jalan Nyi Melas”. Rombongan menerobos ke timur sampai ke
Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut “Lawang Sekateng”. Nama-nama
desa yang dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin, Kupang,
Poler dan Madiro, lalu menuju selatan yaitu desa Kademangan dengan
membangun pondol peristirahatan di sebelah barat daya Kademangan
(diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang).
Desa-desa
yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran, tamben dan Ledok
Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang, Selolembu. sebelah timur
adalah Tenggarang, Pekalangan, Wonosari, Jurangjero, Tapen, Praje,kan
dan Wonoboyo. Sebelah selatan terdapat Sentong, Bunder, Biting, Patrang,
Baratan, Jember, Rambi, Puger, Sabrang, Menampu, Kencong, Keting.
Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah lima ratus orang, sedangkan setiap
desa dihuni, dua, tiga, empat orang. kemudian dibangunlah kediaman
penguasa di sebelah selatan sungai Blindungan, di sebelah barat Sungai
Kijing dan disebelah utara Sungai Growongan (Nangkaan) yang dikenal
sebagai “Kabupaten Lama” Blindungan, terletak ±400 meter disebelah utara
alun-alun.
Pekerjaan
membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk memantapkan
wilayah kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat menjadi
demang denga gelar Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan sebutannya
adalah “Demang Blindungan”. Pembangunan kotapun dirancang, rumah
kediaman penguasa menghadap selatan di utara alun-alun. Dimana alun-alun
tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau putih
kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan
ternak. lama kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai
alun-alun kota. Sedangkan di sebelah barat dibangun masjid yang
menghadap ke timur. Mas Astrotruno mengadakan berbagai tontonan, antara
lain aduan burung puyuh (gemak), Sabung ayam, kerapan sapi, dan aduan
sapi guna menghibur para pkerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan
secara berkala dan mejdi tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Tas
jasa-jasanya kemudian Astrotruno diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa
Negeri.
Dari ikatan Keluarga Besar “Ki Ronggo Bondowoso” didapat keterangan bahwa pada tahun 1809 Raden bagus Asrrah atau mas Ngbehi Astrotruno dianggkat sebagi patih beriri sendiri (zelfstanding) dengan nama Abhiseka Mas Ngabehi kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu (founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di Bondowoso. Adapau tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi Bondowoso, sebagi ubahan perkataan wana wasa. Maknanya kemudiandikaitkan dengan perkataan bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri (kota) adalah semata-mata karena modal kemauan kleras mengemban tugas (penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan membangun kota.
Dari ikatan Keluarga Besar “Ki Ronggo Bondowoso” didapat keterangan bahwa pada tahun 1809 Raden bagus Asrrah atau mas Ngbehi Astrotruno dianggkat sebagi patih beriri sendiri (zelfstanding) dengan nama Abhiseka Mas Ngabehi kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu (founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di Bondowoso. Adapau tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi Bondowoso, sebagi ubahan perkataan wana wasa. Maknanya kemudiandikaitkan dengan perkataan bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri (kota) adalah semata-mata karena modal kemauan kleras mengemban tugas (penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan membangun kota.
Meskipun
Belanda telah becokol di Puger dan secara administrtatif yuridis formal
memasukan Bondowoso kedalam wilayah kerkuasaannya, namun dalam
kenyataannya pengangkatan personil praja masih wewenang Ronggo Besuki,
maka tidak seorang pun yang berhak mengkliam lahirnya kota baru
Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal ini dikuatkan dengan
pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan sampai
akhir hayat Sri Bupati di Besuki.
Pada
tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat
meningkatkan statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki
dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno
menjadi penguasa wilayah dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta
dengan perdikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada hari Selasa Kliwon,
25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian dijadikan
eksistensi formal Bondowoso sebgai wilayah kekuasaan mandiri di bawah
otoritas kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo
Bondowoso meliputi wilayah Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara
1829-1830.
Pada
1830 Kiai Ronggo I mengundurkan diri dan kekausaannya diserahkan kepada
putra keduanya yang bernama Djoko Sridin yang pada waktu itu menjabat
Patih di Probolinggo. Jabatan baru itu dipangku antar 1830-1858 dengan
gelar M Ng Kertokusumo dengan predikat Ronggo II, berkedudukan di
Blindungan sekarang atau jalan S Yododiharjo (jalan Ki Ronggo) yang
dikenal masyarakat sebagi “Kabupaten lama”.Setelah mengundurkan diri,
Ronggo I menekuni bidang dakwah agama Islam dengan bermukim di
Kebundalem Tanggulkuripan (Tanggul, Jember), Ronggo I wafat pada 19
Rabi’ulawal 1271 H atai 11 Desember 1854 dalam usia 110 tahun.
jenazahnya dikebumikan disebuah bukit (Asta Tinggi) di Desa Sekarputih.
Masyarakat Bondowoso menyebutnya sebagai “Makam Ki Ronggo”.
Berawal
dari seorang anak yang bernama Raden Bagus Assra, ia adalah anak Demang
Walikromo pada masa pemerintahan Panembahan di bawah Adikoro IV,
menantu Tjakraningkat Bangkalan, sedangkan Demang Walikoromo tak lain
adalah putra Adikoro IV.
Tahun 1743 terjadilah pemberontakan Ke Lesap terhadap Pangeran Tjakraningrat karena dia diakui sebagai anak selir. pertempuran yang terjadi di desa Bulangan itu menewaskan Adikoro IV, Tahun 1750 pemberontakan dapat dipadamkan dengan tewasnya Ke Lesap. Terjadi pemulihan kekuasaan dengan diangkatnya anak Adikoro IV, yaitu RTA Tjokroningrat. Tak berapa lama terjadi perebutan kekuasaan dan pemerintahan dialihkan pada Tjokroningrat I anak Adikoro III yang bergelar Tumenggung Sepuh dengan R. Bilat sebagi patihnya. Khawatir dengan keselamatan Raden Bagus Assra, Nyi Sedabulangan membawa lari cucunya mengikuti eksodus besar-besaran eks pengikut Adikoro IV ke Besuki.
Masa Beliau memerintah adalah tahun 1819 – 1830 yang meliputi wilayah Bondowoso dan Jember. Pada tahun 1854, tepatnya tanggal 11 Desember 1854 Kironggo wafat di Bondowoso dan dikebumikan di atas bukit kecil di Kelurahan Sekarputih Kecamatan Tegalampel, yang kemudian menjadi Pemakaman keluarga Ki Ronggo Bondowoso.
0 komentar:
Posting Komentar